Kenapa Kamu Perlu Wisata ke Monas Meski Cuma Sekali Seumur Hidup

“Monas Nggak Sekadar Tugu, Tapi Jejak Ego, Harapan, dan Harga Diri Sebuah Bangsa”

Jakarta siang itu gerah, tapi tak membuat kami urung niat. Monas menjadi tujuan kami hari itu—bukan karena viral di TikTok, bukan karena promo tur, tapi karena satu alasan sederhana: kami ingin menyentuh jantungnya Indonesia dari dekat. Aku, adikku, dan ibu kami. Bertiga, menantang panas dan riuhnya kota untuk satu pengalaman yang (ternyata) jauh dari kata biasa.

Wisata ke Monas di Jakarta Suasana Monas Sore Hari

Begitu kaki ini menjejak area pelataran bawah Monas, yang disebut Pelataran Cawan, aku seperti menginjak halaman sebuah buku sejarah. Di pelataran seluas 45x45 meter itu, pengunjung menyebar seperti semut mencari arah. Ada yang duduk bersila sambil ngemil, ada yang mengatur tripod, ada yang cuma diam menatap. Dan di tengah semuanya, Monas berdiri tegap. Sunyi, tapi berwibawa. Seperti seorang kakek tua yang tahu banyak rahasia, tapi memilih diam.

“Ini tugu doang?” tanya adikku sambil mengerutkan dahi. Aku senyum kecil, “Tunggu sampai kamu naik ke atas.”

Naik ke Puncak: Ketika Kota Kecil Bernama Jakarta Terbentang di Bawahmu

Kami antre untuk naik lift menuju pelataran puncak. Di depan kami, ada pasangan muda dari Padang yang baru pertama kali ke Jakarta. Di belakang, sekelompok siswa dari Bekasi yang semangatnya kayak baru nonton konser. Semuanya ingin satu hal: mengintip Jakarta dari ketinggian.

Begitu pintu lift terbuka, pemandangan di pelataran puncak seakan menghempaskan semua keluh soal cuaca panas dan lelah berdiri. Gedung-gedung menjulang, kendaraan seperti semut, dan Monas? Ia seperti pusat poros dari semuanya.

“Lihat, itu Gunung Salak,” kata seorang bapak pada anaknya. “Dan yang biru di sana, itu Kepulauan Seribu.”

Di puncak ini, rasanya Jakarta nggak sekeras biasanya. Udara terasa lebih jujur. Dan diri kita? Kecil, tapi penuh makna. Dari atas sini, aku sadar: berdiri tegak itu bukan tentang keras kepala, tapi tentang mengakar kuat pada cerita kita sendiri.

Turun ke Bawah: Menyelam ke Dalam Perut Sejarah

Kalau ke Monas hanya untuk naik ke puncaknya, kamu baru setengah jalan. Karena setelahnya, kamu harus turun ke bawah—ke Museum Sejarah Nasional. Diorama-diorama di sana bukan sekadar pajangan. Ia adalah napas zaman yang dibekukan dalam diam. Dari masa Sriwijaya, penjajahan, sampai G30S/PKI, semuanya disusun dengan teliti.

Aku melihat anak kecil menatap diorama Perang Diponegoro. Matanya tak lepas dari sosok pangeran di atas kuda. Di sisi lain, dua ibu-ibu bergosip sambil menunjuk-nunjuk peta.

“Eh, nenek aku dulu katanya lari dari tentara Jepang ke hutan,” kata yang satu.

“Makanya kita hidup, karena ada yang dulu lari demi kita,” jawab yang lain. Leluconnya ringan, tapi emang benaran sih.

Taman yang Ramai Tapi Menyimpan Kesunyian

Kami lanjut ke Taman Monas. Di sini, kota seperti bernapas perlahan. Ada anak-anak main bola, pasangan muda piknik, dan pedagang yang menjajakan tahu bulat dari gerobak yang digulung dadakan. Di beberapa sudut, patung-patung pahlawan berjaga diam. Pangeran Diponegoro, RA Kartini, Chairil Anwar. Masing-masing membawa auranya sendiri.

Seorang nenek duduk di bangku batu, menatap patung lima pemuda yang memasang bendera. “Mereka muda-muda, tapi semangatnya ngalahin kita semua,” gumamnya pada cucunya. Aku diam-diam mencatat kalimat itu di kepala.

Di taman ini, kamu tidak perlu sibuk memotret. Duduk saja. Dengarkan langkah orang lain. Amati interaksi kecil. Karena kadang, sejarah tidak hadir dalam bentuk pidato, tapi dalam bisik-bisik yang tertinggal di bangku taman.

Monas Adalah Cermin

Di puncaknya, kamu diajak melihat. Di perutnya, kamu diajak mengingat. Di tamannya, kamu diajak merasa. Monas bukan cuma tugu. Ia cermin. Yang memantulkan bayangan kita sebagai bangsa.

Dan cermin itu menatap balik. Bertanya, “Apa kamu tahu dari mana kamu berasal?” “Sudahkah kamu berdiri tegak hari ini?”

Maka Datanglah, Sekali Saja, Dengan Hati yang Jujur

Kalau kamu belum pernah ke Monas, atau hanya datang pas kencan pertama dan buru-buru pulang sebelum magrib, datanglah sekali lagi. Tapi kali ini, dengan cara yang berbeda. Bukan sebagai turis, tapi sebagai anak bangsa yang ingin menyentuh nadi negaranya.

Jangan buru-buru selfie. Jangan langsung cari spot Instagramable. Masuklah ke museum. Duduklah di taman. Dengarkan patung-patung yang diam tapi bersuara.

Karena Monas itu bukan tempat wisata. Ia adalah tempat berziarah pada identitas kita sendiri.

Dan di zaman ketika segalanya serba cepat dan mudah dilupakan, Monas berdiri sebagai pengingat: bahwa berdiri tegak itu butuh sejarah. Dan sejarah itu tidak hanya untuk dihafal, tapi untuk dikenang, dihargai, dan diwariskan.

Datanglah ke Monas. Meski cuma sekali seumur hidup. Karena sekali kamu naik ke puncaknya, kamu akan tahu—kenapa kita harus berdiri, bukan menunduk.

Comments

Popular posts from this blog

7 Tempat Wisata Terkenal di Bali yang Paling Menarik

5 Hotel Murah di Bali dengan Pemandangan Langsung ke Arah Laut

6 Alasan Mengapa Bali Begitu Menakjubkan