Anak Desa Ini Bikin Peternak Tak Takut Kehabisan Pakan di Musim Kemarau

Menarik untuk memberi pakan ternak merupakan salah satu pemandangan yang sudah umum kita temukan di banyak desa-desa di Indonesia tidak terkecuali di desa yang menjadi asal Visista Pratama Ashadi.

Ya... Di banyak desa di Indonesia, ada pemandangan yang begitu akrab sampai-sampai dianggap sebagai “takdir.” Pemandangan yang saya maksud tidak lain dan tidak bukan adalah pemandangan yang menyuguhkan anak-anak remaja berhenti sekolah, bukan karena malas belajar, tapi karena hidup sudah keburu menagih “tanggung jawab.”

Bukan buku pelajaran yang mereka bawa setiap pagi, melainkan sabit. Bukan meja kelas yang mereka hadapi, melainkan hamparan rumput liar yang harus dipotong untuk ternak keluarga.

Pendidikan seringkali kalah oleh rumput, bukan karena sekolah tidak penting, tetapi karena perut lebih dulu antre untuk diisi.

Rumput kering di musim kemarau

Di desa-desa seperti inilah ngarit setiap hari membentuk wajah keprihatinan. Ngarit bukan sekadar mengambil rumput. Ia mencuri jam tidur, mencuri jam belajar, dan mencuri masa depan secara pelan-pelan.

Kalau musim penghujan, hamparan hijau membuat ngarit seperti rutinitas ringan. Tetapi begitu kemarau datang, sabit bukan lagi alat, ia menjadi simbol kepasrahan karena rumput pun ikut menghilang, ternak kurus, dan petani kehabisan waktu hanya untuk mengejar hal paling dasar (pakan).

Visista Pratama Ashadi

Visista Pratama Ashadi lahir dan tumbuh di lingkungan di mana pola hidup ini dianggap lumrah. Ia berasal dari Sumatera Selatan, dari sebuah desa yang hidupnya bertumpu pada ternak, tetapi nyaris tidak punya sistem yang efisien untuk memberi makan ternak itu sendiri.

Rutinitas lama berjalan seperti roda kusam: pagi ngarit, sore ngarit, malam kelelahan, dan anak-anak muda tumbuh dengan pikiran bahwa nasib adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar.

Namun tidak semua memilih tunduk pada kebiasaan panjang seperti itu.

Visista adalah tipe anak muda yang melihat realitas desa bukan sebagai pemandangan tetap, melainkan sebagai problem yang bisa dipotong, dirapikan, lalu dipasang ulang.

Dari rutinitas ngarit dan kerepotan menghadapi musim kemarau, ia melihat peluang inovasi. Dari lelahnya tubuh, ia membaca sinyal bahwa waktunya sesuatu berubah.

Dan dari betapa banyaknya anak desa terhenti pendidikan karena ternak tidak bisa makan sendiri, ia menangkap pertanyaan paling mendasar... “Kenapa urusan pakan harus selalu sesulit ini?”

Lahirlah kemudian gagasan yang ia namakan “Siambu dan Sikatup.” Sebuah inovasi pakan ternak sederhana tapi strategis. Bukan teknologi canggih berlapis jargon, bukan pula alat mahal dari pabrikan besar.

Membuat silase rumput untuk pakan ternak

Ini adalah solusi yang lahir dari tanah tempat masalah itu berasal. Siambu (Silase Ampas Tebu) dan Sikatup (Silase Katul Tumpi Polar) memungkinkan petani menyimpan pakan sepanjang tahun, terutama cadangan pakan basah saat kemarau.

Pakan yang dulu hanya mengandalkan keberuntungan musim, kini bisa diatur ketersediaannya.

Di desa, dua masalah besar pakan sebenarnya saling bertumpuk:

  1. Di musim hujan → rumput berlebih, ternak tidak sanggup habiskan → tidak ada tempat menyimpan → mubazir.
  2. Di musim kemarau → rumput kering, ternak kekurangan nutrisi → waktu habis untuk mencari rumput → pertumbuhan ternak stagnan.

Solusi Visista membalik pola klasik itu. Yang berlebih di musim hujan tidak lagi terbuang, melainkan “diubah bentuk”-nya agar bisa bertahan hingga musim kering.

Ternak tidak lagi tergantung pada keberuntungan cuaca, dan petani tidak lagi “menyembah rumput” dari pagi sampai sore. Waktu yang tadinya habis untuk ngarit kini bisa dipakai memikirkan hal lain, termasuk memperbaiki kualitas hidup.

Dari sinilah kisah Visista bergerak ke panggung yang lebih besar. Pada tahun 2021, inovasinya terpilih sebagai salah satu finalis SATU Indonesia Awards, program apresiasi dari Astra untuk pemuda-pemuda yang bekerja nyata di akar rumput.

SATU Indonesia Awards adalah ajang nasional yang setiap tahun mencari anak-anak muda yang tidak hanya punya ide, tetapi benar-benar membumikan perubahan: dari kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, hingga teknologi tepat guna untuk masyarakat desa.

Tidak banyak ajang penghargaan di Indonesia yang betul-betul turun ke dusun-dusun, menyelami realitas lokal, dan menyorot anak-anak muda yang jarang terdengar, tetapi berdiri di garda terdepan perubahan kecil yang berdampak panjang.

Melalui proses seleksi ketat, mulai dari verifikasi lapangan, penilaian dampak sosial, hingga kesinambungan program, Visista membuktikan bahwa inovasi tidak selalu lahir di laboratorium.

Ia bisa muncul dari kandang ternak, dari padang rumput yang retak-retak saat kemarau, dan dari masalah yang semua orang melihat tapi tidak semua orang coba atasi.

Menjadi finalis SATU Indonesia Awards bukan sekadar “prestasi,” tetapi validasi bahwa problem kecil kalau disentuh dengan kesungguhan, bisa menjelma menjadi jawaban strategis bagi sektor yang selama ini dipinggirkan seperti peternak tradisional. Bahwa anak desa bukan hanya objek belas kasihan, melainkan subjek perubahan.

Kisah Visista sekaligus menjadi kritik halus, ‘kenapa harus menunggu teknologi mahal dari kota, kalau akar solusinya sebenarnya sudah ada di desa sejak lama’ hanya butuh orang yang mau memformulasikan ulang?

Inovasi seperti Siambu dan Sikatup menunjukkan bahwa kemandirian pangan peternak tidak harus selalu rumit. Justru kesederhanaannya lah yang membuatnya kuat, murah diadopsi, dan relevan lintas desa.

Dan disinilah pesan Visista yang paling sederhana tapi menghantam. Kalau kamu mau membantu negeri ini, tidak perlu mulai dari gedung tinggi, cukup dari kandang kecil di halaman rumahmu.

Tidak semua orang harus membangun start-up teknologi. Tidak semua perubahan dimulai dari konferensi besar. Kadang perubahan dimulai dari melihat rumput yang menguning lalu bertanya: “Bisakah ini disimpan sebelum hilang?”

Ia mengajak anak-anak muda Indonesia untuk tidak gengsi terhadap inovasi yang terlihat kecil. Bangsa ini tidak kekurangan inspirasi, tapi sering kekurangan keberanian untuk mengeksekusi hal-hal sepele tapi krusial.

Kalau generasi muda mau turun tangan, masalah yang selama ini dianggap tradisi, bisa berubah menjadi peluang kesejahteraan.

Dan kalau kamu seperti Visista, ingin membuat perubahan lewat jalan yang kamu rintis sendiri, kamu juga bisa ikut berproses melalui program yang sama 👉 https://satuindonesiaawards.astra.co.id/

Karena kadang yang dibutuhkan negeri ini bukan pahlawan besar — hanya satu anak muda yang mau memutus rantai keletihan, dan mulai mengubah rumput menjadi masa depan.

Comments

Popular posts from this blog

7 Tempat Wisata Terkenal di Bali yang Paling Menarik

5 Hotel Murah di Bali dengan Pemandangan Langsung ke Arah Laut

6 Alasan Mengapa Bali Begitu Menakjubkan